
Di sebuah desa kecil di kaki gunung, hiduplah seorang anak bernama Hasan. Sejak kecil, ia sudah terbiasa membantu ayahnya menggembalakan kambing di padang rumput. Meskipun hidupnya sederhana, Hasan terkenal di desanya sebagai anak yang jujur, sopan, dan rajin beribadah.
Setiap pagi, setelah sholat Subuh, Hasan membawa kambing-kambing keluarganya ke padang rumput. Sambil menggembala, ia selalu membaca Al-Qur’an yang ia bawa di saku bajunya. Ia percaya, membaca ayat-ayat Allah akan membuat hatinya tenang dan rezekinya berkah.
Suatu hari, ketika Hasan sedang beristirahat di bawah pohon rindang, datanglah seorang saudagar kaya dari kota. Saudagar itu sedang kehausan dan lapar karena tersesat di perjalanan. Hasan pun segera memberikan bekalnya, meskipun itu adalah satu-satunya makanan yang ia bawa hari itu.
Saudagar itu kagum dengan kebaikan hati Hasan. Ia lalu mencoba menguji kejujuran anak itu.
“Hasan,” kata saudagar, “jika kau mau, jualkan padaku seekor kambing dari gembalaanmu. Katakan saja pada ayahmu bahwa kambing itu dimakan serigala.”
Hasan menunduk, lalu menjawab dengan tegas,
“Maaf, Tuan. Ayahku mungkin tidak tahu, tapi Allah Maha Tahu. Bagaimana aku bisa berbohong di hadapan-Nya?”
Mendengar itu, saudagar terdiam. Air matanya hampir jatuh. Ia sadar bahwa anak kecil ini memiliki iman yang lebih kuat daripada banyak orang dewasa.
Beberapa bulan kemudian, saudagar itu kembali ke desa Hasan. Ia membawa hadiah seekor sapi, uang, dan beberapa kitab untuk Hasan belajar agama. Ia berkata,
“Hasan, engkau telah mengajarkanku arti kejujuran dan takut kepada Allah. Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan.”
Hasan pun semakin rajin belajar. Bertahun-tahun kemudian, ia tumbuh menjadi seorang ulama dan pemimpin yang adil di desanya, dikenal sebagai “Hasan al-Gembala yang Sholih” — simbol kejujuran dan ketaatan kepada Allah.